twitter


“Untung ada Soeharto!” ucap Adi suatu siang di lapangan sekolah.

“Kok Soeharto? Untung ada Untung yang benar!” bantah Rudi.

“Nggak, Soeharto yang benar. Buktinya dia yang jadi presiden.”

“Ah, dia licik. Kalau nggak dibunuh, Untung yang benar. Dia yang susah payah menyelamatkan Presiden Sukarno. Sukarno yang benar.”

“Soeharto. Sukarno diktator.”

“Sukarno. Soeharto licik, antek asing. Makanya dia gulingkan Sukarno karena kalau ada Sukarno investasi asing nggak bisa masuk. Indonesia nggak bisa maju.”

“Soeharto, titik!”

“Sukarno!”

Adi dan Rudi yang sama-sama ngotot pun tak menemui kata sepakat. Mereka berdua lalu mencari cara. Mendatangi Histo –teman sekelas yang jago sejarah– menjadi pilihan mereka untuk memecah kebuntuan, akhirnya.

“Oke, ntar sore jam lima kita ketemu di rumah Histo. Kita lihat siapa yang benar di antara dua tokoh itu,” ujar Adi.

“Sip. Siapa takut,” balas Rudi.

Jam 04.30 sore di rumah Histo. Adi dan Rudi hampir bersamaan datang. Mereka berdua disambut pembantu rumah dengan ramah. Setelah memberitahu perihal kedatangan mereka, Adi dan Rudi dipersilakan masuk. Histo lalu menemui mereka dan mengajak ke kamarnya. Pemaparan pun dimulai.

“Begini,” kata Histo perlahan, sembari duduk di kursi sandarnya, “apa yang kalian perdebatkan itu (baca: G 30 S) tidak sesederhana yang kalian pikirkan. Peristiwanya sangat kompleks. Banyak kepentingan, orang yang terlibat, motif dan lain sebagainya yang ikut berperan di dalamnya. Dan kesemuanya itu, kalau tidak terjadi secara simultan, ya hampir bersamaan.”

“Kompleks bagaimana, Hist maksudnya?” tanya Adi.

“Iya, kompleks. Sangat kompleks. Benang kusut pun kalah ruwet-nya. Peristiwa G 30 S ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan akumulasi dari banyak peristiwa dan lain sebagainya yang jadi faktor pemicunya,” jawab Histo.

“Oke kalau begitu teruskan, Hist. Kau Adi, jangan menyela saja,” pinta Rudi.

Wajah Adi merah akibat omongan Rudi. Sedangkan Histo mesti sempat kaget, cukup dingin. Dia lalu melanjutkan penjelasannya sembari menawarkan suguhan minuman dingin kepada kedua kawannya itu.

“Baik, saya akan teruskan. Tapi perlu kalian ingat sebelumnya, penjelasan yang saya sampaikan hanya berdasarkan fakta-fakta yang saya dapat dari bahan bacaan dan film-film yang pernah saya tonton. Penelusuran lebih jauh, semisal wawancara kepada orang yang paham atau para saksi hidup, belum pernah saya lakukan. Jadi jangan berharap saya bisa memberi jawaban komprehensif dan absolut kebenarannya. Jangankan saya, para ahli pun tidak ada yang bisa menemukan jawabannya secara komprehensif. Apalagi saya yang hanya pelajar SMU. Dan karena G 30 S ini begitu rumit, penjelasan akan saya persingkat saja. Poin-poin pentingnya yang saya tekankan. Biar kalian tidak makin bingung dibuatnya. Konsekuensinya, tentu saja jawaban kian tidak komprehensif.”

“Sejak kabar sakitnya Presiden Sukarno makin santer terdengar, para politisi dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap Indonesia saat itu jadi kian gelisah. Mereka bertanya-tanya, siapa yang bakal menggantikan Sukarno. Spekulasi pun banyak bermunculan. Hal itu makin menambah kekisruhan keadaan.”

Jeda sesaat, Histo melanjutkan lagi: Waktu itu Demokrasi Terpimpin sudah hampir lima tahun berjalan. Salah satu ciri paling mencolok dari Demokrasi Terpimpin adalah adanya tiga pilar yang menopangnya. Pertama, Sukarno; kedua, Angkatan Darat (AD); dan ketiga, PKI. Dua pilar selain Sukarno sejak lama saling bermusuhan. Maka itu ketika kabar sakitnya Sukarno kian banter, keduanya rebutan pengaruh untuk mendapatkan simpati presiden. Masing-masing mengklaim sebagai “penjaga” sah presiden.

Dari luar, banyak pihak yang berkepentingan terhadap negeri kita. Waktu itu dunia sedang terpolar pada dua kutub, Barat dan Timur. Perang Dingin. Di pihak Barat, Amerika (AS) sangat menaruh perhatian karena kekayaan sumber daya alam dan letak strategis negeri kita sangat penting bagi kepentingan politik luar negeri dan ekonominya. Sedangkan Inggris menaruh perhatian lebih kepada faktor regional di mana dua negara persemakmurannya, Malaya dan Singapura, berada tak jauh dari Indonesia. Inggris takut kedua negara persemakmurannya itu "ketularan" komunis, sebab Indonesia waktu itu sudah cenderung ke kiri. Dari blok Timur, Uni Soviet dan China menganggap penting mempertahankan Indonesia. Kedua negara itu merasa sejalan dengan paham politik Presiden Sukarno. Mereka berupaya keras menjaga Indonesia dari pengaruh kapitalisme Barat.

Baik blok Barat maupun blok Timur, keduanya terus aktif menjaga kontak dengan orang-orangnya yang ada di Indonesia. Orang mereka ataupun orang lokal yang berafiliasi kepada mereka.

Di dalam negeri sendiri perpecahan tetap tak terelakkan. Selain perbedaan politik dua pilar di samping Sukarno tadi, masing-masing pilar itupun tak bebas dari perpecahan di dalam. Di tubuh AD sendiri ada perpecahan antara mereka yang bergaya hidup glamor dengan mereka yang tidak –umumnya mereka perwira menengah progresif. Para perwira menengah progresif ini umumnya bersahaja dari sisi ekonomi. Meski termasuk perwira tinggi senior, Soeharto masuk ke dalam golongan ini.

Nah, dalam hubungan sama sakitnya Sukarno yang makin parah dan makin santernya isu Dewan Jenderal, para perwira progresif tadi lalu berinisiatif mengambil tindakan. Alasan mereka, untuk menyelamatkan presiden dari kudeta para jenderal di Dewan Jenderal. Dewan Jenderal yang mereka maksud adalah sebuah dewan yang terdiri dari jenderal-jenderal kontra revolusioner, yang dengan bantuan nekolim (neo kolonialisme) seperti AS, Inggris dan lain sebagainya akan menggulingkan kekuasaan Sukarno. Isu Dewan Jenderal berawal dari ditemukannya Dokumen Gilchrist (Andrew Gilchrist), staf di Kedubes Inggris di Jakarta. Dalam dokumen itu dikatakan mengenai rencana sebuah gerakan penggulingan Sukarno dengan bantuan, "our local army."

Para perwira progresif tadi pun mereka terus mematangkan rencana. Mereka membentuk kelompok yang mereka namakan Gerakan 30 September (G 30 S). Nama itu mereka ambil berdasarkan tanggal gerakan yang akan mereka lakukan. Gerakan yang dimaksud adalah gerakan menghadapkan para jenderal yang mereka duga kontra-revolusioner, ke hadapan Bung Karno. Soeharto tidak termasuk ke dalam nama-nama jenderal yang bakal mereka culik. Di kemudian hari, hal ini jadi tanda tanya besar salah satunya karena Soeharto termasuk dalam perwira senior AD. G 30 S terdiri dari perwira-perwira Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan sedikit Angkatan Laut serta Angkatan Kepolisian.

“Hmmm...seru juga ya ternyata. Oke, lanjutkan lagi, Hist!” ujar Adi.

“Baik. Tapi itu minuman dan jajanannya sambil disantap lho,” balas Histo sambil agak bercanda.

“Gerakan 30 September ini sendiri sangat "lucu". Paling tidak bisa dilihat dari hierarki kepemimpinannya, terlihat jelas kejanggalannya. Pemimpin gerakan, Untung, berpangkat Letnan Kolonel. Sedangkan wakilnya, A. Latief, berpangkat Kolonel dan Soepardjo berpangkat Brigadir Jenderal. Dalam tubuh militer, hal itu sangat tak masuk akal. Untung dan Latief ini merupakan orang yang sangat dekat dengan Soeharto sejak masa revolusi fisik di Jogja.”

Histo melanjutkan lagi: Gerakan itu akhirnya mencapai mufakat: menghadapkan para jenderal kontra revolusioner ke presiden Sukarno pada 1 Oktober. Beberapa jam sebelum operasi berjalan (30/9/65), Kolonel Latief sempat memberitahu Soeharto di rumah sakit bahwa akan diadakan gerakan penculikan beberapa saat lagi. Soeharto cuma diam. Sewaktu Hari H, G 30 S bergerak dari markasnya di Desa Lubang Buaya, Jakarta Timur yang tak jauh dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Mereka dibagi dalam tiga kelompok dan bergerak ke sasaran masing-masing.

Di kemudian hari, nama Desa Lubang Buaya ini mencoreng nama baik Angkatan Udara (AURI). AURI dianggap mendukung gerakan itu. Sebab, Lubang Buaya dikatakan merupakan zona milik AURI. Padahal, Lubang Buaya yang dijadikan markas G 30 S sebenarnya berada di luar Lanud Halim Perdanakusuma. Lubang Buaya yang ada di Lanud Halim adalah nama dropping zone, tempat untuk latihan terjun payung. Dua hal berbeda yang kebetulan sama nama.

Dalam aksi G 30 S itu, tiga jenderal – yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat A. Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen DI Pandjaitan– tewas di rumahnya masing-masing. Empat target yang masih hidup lalu dibawa ke markas mereka dan dihabisi di sana. Satu jenderal paling senior, AH Nasution, berhasil luput dari penangkapan itu meski anak bungsunya tewas terkena peluru pasukan penculik. Perintah bunuh itu datang secara spontan, artinya tak direncanakan sejak semula.

Pasukan G 30 S lalu menduduki Medan Merdeka Selatan dan Barat serta RRI. Pukul 07.00 Letkol Untung melakukan siaran radio di RRI, memberitahu bahwa komplotannya telah melakukan gerakan penyelamatan presiden. Dia mengumumkan beberapa nama -yang asal catut- penting yang mendukung gerakan itu selain juga mereformasi militer dengan menjadikan Letnan Kolonel sebagai pangkat tertinggi. Dia menyeru agar di daerah-daerah segera dibentuk badan yang mendukung gerakan. Hingga siang hari, pasukan di sekitar lapangan Monas itu tetap tinggal diam menunggu perintah. Pasukan itu merupakan batalyon-batalyon dari Kodam Diponegoro dan Brawijaya yang sebetulnya akan menghadiri upacara HUT TNI 5 Oktober. Baik kedua pasukan itu maupun orang awam, semua dibuat bingung oleh keadaan. Mereka tidak tahu mana kawan mana lawan.

Di Merdeka Timur, di markas Kostrad, Soeharto menyusun gerakan untuk menghancurkan G 30 S. Pasukan yang mengepung lapangan Monas itu akhirnya berhasil dia jinakkan sore harinya tanpa satu peluru pun yang keluar. Soeharto lalu memerintahkan pasukan elit RPKAD menggempur markas G 30 S di Lubang Buaya. Mulai saat itu secara de facto Soeharto menjadi panglima Angkatan Darat. Dari segi aturan, tindakan itu tidak bisa dibenarkan. Soeharto beberapa kali melakukan insubordinasi –sebuah tindakan pembangkangan dalam dunia militer. Dia tak patuh perintah atasan, yakni Presiden Sukarno selaku panglima tertinggi Angkatan Bersenjata).

Peran Soeharto kian tampak dibandingkan masa-masa sebelumnya yang hanya sebagai panglima Kostrad. Dia bukan saja berhasil menjinakkan pasukan-pasukan yang menjadi musuhnya, manuver-manuver politiknya pun turut membuatnya kian kuat dan diperhitungkan dalam pentas perpolitikan nasional.

Momen menentukan kemudian dia dapatkan ketika dirinya berhasil memaksa Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Dengan Supersemar yang berhasil dia dapatkan melalui perantara tiga jenderalnya (Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud) itu, Soeharto lalu melakukan banyak tindakan politik. Sehari setelah keluarnya surat perintah itu, Soeharto membubarkan PKI –saingan terkuat AD- pada 12 Maret. Meski Sukarno murka dan lalu mengeluarkan surat perintah 13 Maret untuk mengoreksi tindakan Soeharto, dia tetap tak peduli. Dia lalu membasmi PKI sampai ke akar-akarnya. Pembunuhan terhadap para anggota dan mereka yang diduga PKI terjadi di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Soeharto juga terus menggerogoti kekuasaan presiden Sukarno. Orang-orang yang pro Sukarno dia singkirkan. DPRS dan MPRS dia isi dengan orang-orangnya. Militer juga dia konsolidasikan dengan menaruh orang-orang yang pro kepadanya pada posisi-posisi penting. Melalui MPRS Soeharto meningkatkan status hukum Supersemar. Puncaknya terjadi ketika Soeharto –yang sebelumnya mendudukkan Nasution ke kursi ketua MPRS sebagai upaya untuk menghilangkan saingan dalam menuju kursi RI 1– berhasil meng-impeach Sukarno. Tak lama setelah itu Soeharto lalu ditetapkan sebagai Pejabat Presiden dan setahun kemudian dia menjadi presiden.

Di kemudian hari, Supersemar menjadi masalah besar. Terutama menyangkut legalitas pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. Sebab, sebetulnya Supersemar hanya surat perintah pengamanan keadaan, bukan surat penyerahan kekuasaan politik. Soeharto wajib melaporkan tiap tindakan pengamanan yang diambilnya kepada Presiden Sukarno. Tapi itu tidak Soeharto lakukan dan bahkan menyalahgunakan surat perintah itu jauh melampaui batas kewenangan. Lucunya, waktu Soeharto berkuasa, Supersemar dinyatakan hilang. Yang ada hanya kopiannya saja. Itu pun ada beragam versi. Suatu keanehan yang hampir tak mungkin terjadi secara kebetulan tentunya.

Setelah menjadi presiden, nasib orang-orang yang tak sejalan dengan dengan Soeharto menjadi nahas. Presiden Sukarno pun tak terkecuali. Dia menjadi tahanan rumah yang mengenaskan hingga wafatnya pada 1970. Orang-orang PKI dan orang-orang yang dituduh PKI serta orang kiri lainnya dibuang ke Pulau Buru di samping banyak yang dibunuh. Mereka dihukum tanpa melalui proses pengadilan terlebih dulu. Penulisan sejarah dimonoversikan. Banyak manipulasi di dalamnya dan itu dipaksakan jadi konsumsi masyarakat dari tingkat sekolah dasar hingga para pejabat. Propaganda bahwa PKI jahat terus disiarkan melalui film, peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Selama tiga dasawarsa lebih berkuasa, Soeharto berhasil mencuci otak rakyat Indonesia.

Versi sejarah buatan Soeharto inilah yang hingga kini masih paling banyak diterima. Mereka yang menerima umumnya karena tidak tahu. Ketika Soeharto terguling oleh reformasi pada 1998, banyak orang yang selama 30 tahun dibungkam pun angkat bicara. Pertanyaan demi pertanyaan mengenai keabsahan kekuasaan Soeharto pun terus mengalir deras.

“Ooo..begitu tho ceritanya,” ucap Adi.

“Tuh kan, apa ku bilang, Soeharto jahat,” sahut Rudi.

“Lepas dari terlibat atau tidaknya dia dalam G 30 S, kudeta merangkak dan lain sebagainya, Soeharto tetap penjahat kemanusiaan,” tutup Histo.

sumber : http://kompetisiesai.blogspot.com/p/tulisan.html
jadi, bagaimana pendapat anda ?
Rabu, 17 November 2010 | 0 komentar | Label:

0 komentar:

Posting Komentar