twitter

Saat ini sering kita jumpai seminar- seminar motivasi, ESQ, pidato-pidato pembakar semangat, training pengembangan diri atau sejenisnya. Tak jarang pula tulisan-tulisan indah, kata-kata bijak, dan artikel kritis menghiasi sudut keramaian, terpampang dalam kelas maupun terkirim rutin lewat sms. Kesemuanya itu bagus, sangat bagus. Mayoritas bertujuan untuk meningkatkan etos kerja kita, nilai dari hidup kita yang cuma sekali di dunia ini. Namun mengapa di saat para orator yang semakin banyak, media semakin massif membakar semangat, kata-kata indah semakin dalam menusuk kalbu masih saja kita sulit untuk berubah menjadi yang lebih baik. Berhijrah dari sesuatu yang jelas-jelas membawa kita ke hal sia-sia menuju ke suatu hal, kebiasaan, tempat yang dapat memaksimalkan hidup kita di dunia ini. Sebuah hal yang diinginkan mayoritas orang, namun usaha yang yang dilakukan oleh minoritas orang.

Contoh sederhana dapat kita lihat pada orang Jepang. Kebiasaan saling menghormati di sana dijunjung tinggi, berbesar hati, meminta maaf, berterima kasih adalah ucapan di keseharian mereka. Budaya kita tak jauh beda dengan mereka. Kita mengenal unggah-ungguh, ucapan terima kasih, nyuwun sewu dalam adat Jawa, permisi dan sebagainya. Semua yang telah diajarkan pada kita. Namun, dalam implementasinya hal-hal tersebut jarang kita temui. Seperti saat saya mulai merasakan hidup di Surabaya. Pola hidup heterogen, meski mayoritas masih orang jawa. Saat saya naik bus beberapa saat yang lalu, ada seorang pengendara sepeda motor yang melanggar lalu lintas dan menyebabkan bus berhenti mendadak untuk menghindari tabrakan. Niat hati sang sopir turun untuk mengingatkan, namun pengendara sepeda motor tidak terima diperingatkan dan menantang balik. Tak pelak perkelahian pun pecah. Beruntung awak bus dan penumpang berusaha melerai. Padahal, masalah ini akan terselesaikan bila pengendara sepeda motor mengucapkan kata maaf. Ya, rasa mengakui kesalahan memang mahal di negara ini.

Dalam konteks yang berbeda, sering kita temui training pengembangan diri. Namun, yang berubah menjadi lebih baik sangatlah jarang. Rata-rata peserta semangat di dalam acara. Tiga puluh menit keluar dari ruang,silahkan tanya materi apa yang akan diterapkan dan dijadikan kebiasaan. Para peserta tahu materi itu bagus. Peserta paham akan esensi yang didapat. So, what. Bila kita tanyakan, apakah kesalahan itu dari pemandu/pengisi acara ataupun dari para peserta? Jika saya bertanya ke pemandu saat memberi materi mengapa ada peserta mengantuk, jawabannya pasti pemandu menyudutkan peserta yang kurang konsentrasi. Jika saya bertanya ke peserta mengapa tadi tidur saat acara, pasti jawabannya tak jauh dari pengisi yang membosankan, atau memang mengakui karena peserta lelah dan mengantuk sebelum acara. Jadi,siapa yang salah?

Tak usah kita bahas itu lebih jauh. Namun, hendaknya pemandu menjadi teladan untuk peserta, dan lebih baik lagi pemimpin menjadi teladan bagi rakyatnya. Minimal melaksanakan apa yang telah pemimpin ucapkan saat kampanye. Untuk menjadikan seorang pemimpin menjadi teladan, saya tidak akan menulis opini, tips, maupun rumusan cerdas menjadikan pemimpin sebagai teladan. Hal ini dikarenakan mayoritas orang sudah mengetahuinya dan para antropolog telah meneliti dan menghasilkan buku-buku tentang itu.dengan teknologi yang ada hal seperti itu sudah banyak bertaburan di internet. Namun,saya akan memberi gambaran konkrit seorang pemimpin teladan. Kisah ini saya ambil dari www.useillusion1.wordpress.com.

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya,” Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya”.Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yangmenyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu,”Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”

Aisyah RA menjawab,”Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja”.” Apakah Itu?” tanya Abubakar RA.”Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana”, kata Aisyah RA. Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepadapengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik,”Siapakah kamu?” Abubakar RA menjawab,”Aku orang yang biasa (mendatangi engkau)”. “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku” bantah si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.” Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata,” Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia….”. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

Jadi,untuk menjadikan orang lain lebih baik ternyata tak cukup hanya memberi ucapan semangat, orasi indah dan bagus di depan, kampanye memikat hati, materi lengkap dan tertata. Ada satu hal yang pastinya lebih berharga. Jadilah teladan meskipun anda bukan pemimpin. Namun, apabila anda pemimpin, maka teladan adalah hal yang wajib anda miliki. Permisalan mudah,kita lebih bisa membayangkan nasi pecel daripada ciri-ciri makanan gurih dan lezat. Sama seperti kita lebih mudah melihat pemimpin A yang berkelakuan rajin daripada mengingat pidato yang dibicarakan.

Rabu, 17 November 2010 | 0 komentar | Label:

0 komentar:

Posting Komentar